Senin, 22 Februari 2016

High Class Children


Nama ku Song June, siswa kelas dua Seiran Academy.
Aku murid terbaik di sekolahku dan juga di negara ini, dan juga seorang putri tunggal dari keluarga bangsawan yang kaya raya.
Mobil BMW keluaran terbaru mengantarku ke sekolah.
Hari ini adalah pengumuman hasil ujian akhir semester, disampingku tampak seorang cowok mengendarai motor besarnya melaju dengan kencangnya melewati mobil ku.
Dia Daniel Kim, putra seorang kaya raya dan sainganku dalam pelajaran dan semua hal.
Seiran Academy memang terkenal sebagai tempatnya anak-anak orang kaya di negara ini.

Mobil berhenti didepan pintu sekolah, aku turun sambil membawa laptop dan tas sekolahku.
Daniel tersenyum sinis ketika melihatku, aku dengan tenang menaiki anak tangga menuju papan pengumuman.
Semua siswa Seiran Academy mengeluarkan ponsel tercanggih mereka untuk mengabadikan gambarku, mungkin mereka akan menjual foto-fotoku itu pada paparazzi.
Begitu pula siswi Seiran Academy yang mengambil foto Daniel, mereka bahkan berteriak-teriak kalau mereka mencintai cowok itu.
Aku berjalan dengan tenang, sampai saat seorang cowok mencegatku. “June…” panggil cowok yang aku tahu dia adalah kakak tingkatku.
Cowok itu mengeluarkan kotak berwarna biru, dari tampilannya aku tahu kotak itu berisi perhiasan.
Benar saja ketika dia membuka kotak itu, tampak cincin emas putih dengan berlian yang besar tertahta dimatanya, “Jadilah Pacarku June, kamu boleh mencoba sebulan… ah tidak seminggu! Seminggu saja jalan denganku, bila tidak suka kamu boleh pergi meninggalkan aku!” kata cowok itu sambil berlutut dihadapanku.
Aku mengedip-kedipkan mata dan menghembus kan nafas, “Maaf… aku tidak tertarik” kataku.
Aku berjalan melewatinya setelah membungkuk sedikit, untuk menyampaikan rasa bersalahku.
Daniel tertawa kecil, aku bisa mendengarnya tertawa. Dia selalu saja begitu setiap aku menolak cowok yang menyatakan cinta.
Langkahku terhenti ketika melihat seorang cewe cantik memakai pita merah muda, dia berdandan seperti kado ulang tahun, cewek itu mendekat kearah Daniel.
“Daniel Oppa… sudah setahun aku memperhatikanmu, aku menyukaimu” cewek itu menyodorkan kue tart bertabur coklat  pada Daniel.
Aku tersenyum sinis melihatnya, pandangan kami bertemu, aku terus memperhatikannya.
Daniel mengambil kue itu, mencolek krimnya dan memakannya.
Apa mungkin dia menerima cewek itu?, cewe itu tidak jelek, dia cantik seperti boneka.
“Kue nya enak, tapi aku tidak bisa menerimamu. Karena aku tidak suka cewek yang memakai pita seperti ini!” tolak Daniel dengan kata-kata yang manis.
Aku mengangkat alisku kemudian melanjutkan langkahku menuju papan pengumuman, sesi pagi ini sudah selesai. Setiap tiga hari atau seminggu sekali, ada saja yang menyatakan cinta pada aku ataupun Daniel.
Guru BP datang membawa kertas pengumuman, dia menempelkan kertas itu didalam papan pengumuman yang terbuat dari kotak kaca, aku tersenyum ketika melihat namaku berada di urutan satu, diikuti Daniel diurutan dua.
“Waaah, mereka berdua memang keren!” puji siswa dan siswi lainnya begitu melihat nilaiku yang sempurna.
“Aku iri padanya, Song June itu dia cantik dan pintar, sedikit saja aku memiliki kelebihannya pasti aku akan bahagia” gumam cewek yang tidak jauh dariku.
Dia ingin menjadi aku?, walau hanya sedikit jangan bermimpi untuk menjadi aku.
Mereka hanya tahu bagaimana kehidupanku dari luar, tapi apa mereka tahu bagaimana aku sebenarnya.

Aku meletakkan tasku diatas meja, beberapa siswi sekelas datang mendekatiku.
“June… kami ingin mengajakmu masuk ke kelompok tari kami, apa kamu mau?” Tanya mereka.
Aku menatap kearah tiga siswi itu, “Tidak” jawabku singkat.
Ketiga siswi itu langsung pergi begitu mendengar penolakanku.
“Bagaimana dia bisa menari sendirian?, ini kan tari kelompok” gumam salah satu dari mereka.
“Cantik, pintar tapi lihatlah dia tidak memiliki teman!” sahut satu lagi.
Daniel masuk kedalam kelas, dia bersama ketiga temannya sedang asik bercanda.
Aku membuka laptoku dan memulai kegiatan belajarku.
Guru kesenian datang.
Semua murid duduk pada bangku mereka masing-masing.
“Ayo kalian ke ruang olah raga, ibu akan menilai tarian kalian!” suruh guru kesenian.
Semua murid keluar dari kelas sambil bercanda, ada yang menghapal gerakan tari mereka.
“Song June” panggil guru kesenian.
“Kenapa tidak keruang olah raga?” Tanya nya.
Aku menutup laptop, Daniel dan ketiga temannya menoleh kearahku.
“Saya tidak tertarik dengan tari kelompok” jawabku.
Guru kesenian tertawa kecil, “June, ibu tahu kamu pandai dalam semua pelajaran, tapi kamu benar-benar tidak memiliki teman bila seperti ini terus”.
Aku menatap kearah guru, “Apa teman bisa membantu masa depan seseorang?” tanyaku.
“Apa?!” Guru kesenian terkejut dengan pertanyaanku.
“Baiklah, saya akan menari. Tapi tidak berkelompok!” kataku sambil meninggalkan ruang kelas.

Diruang olahraga semua murid sekelas tampak menghapal koreografi yang sudah diajarkan minggu kemarin.
Aku berdiri sedikit menjauh dari mereka.
Daniel berdiri disampingku, “Menyedihkan” katanya sambil tersenyum kepadaku.
Aku hanya diam, terserah mereka mau men cap ku seperti apa.
“Sekarang tarian tunggal, Song June kamu bisa menari bebas tanpa harus mengikuti koreo yang ibu berikan” ucap guru kesenian dengan nada kesal.
Daniel mengganti music tradisional menjadi music RnB Hiphop, aku menoleh kearahnya. Dia tahu aku memperlajari hampir seluruh jenis tarian tapi apa aku bisa menari dengan music seperti ini.
Aku menggerakkan tubuhku mengikuti irama berputar dan menghentak, bisa dibilang ini balet modern, guru kesenian tercengang melihatku, aku bisa merasakan tatapan teman-teman sekelasku.
Begitu music berhenti aku mengakhiri tarianku dengan sempurna.
Tepuk tangan terdengar riuh disusul oleh siulan dari beberapa siswa sekelasku.
“Bravo June, bagus sekali. Tapi nilai sempurnamu harus ibu potong lima point karena ini adalah tugas kelompok!” ucap Guru kesenian senang, dia bahkan bertepuk tangan, tapi dia juga memberiku hukuman.
Aku berjalan menuju kelas, seluruh teman sekelasku merekam tarianku dan memasukkannya ke internet.
“Apa kamu tidak ingin memiliki teman?” Tanya Daniel, dia duduk disebelahku.
Sebelumnya Daniel tidak pernah memperhatikan aku, kenapa dia seperti ini?.
“Bukan urusanmu” jawabku sengit.
“Kamu bahkan memakai nada ketus seperti itu, aku hanya ingin kelas kita kompak seperti kelas lainnya” kata Daniel.
Aku menoleh kearahnya, dia ketua kelas, dia juga ketua osis. Aku mendorong kursiku kebelakang kemudian berlalu melewatinya.

Masa lalu itu, masih membekas.
Aku menghirup udara diatas atap gedung sekolah.
“Well si cantik June ada disini!” ucap kakak kelas yang tadi menembakku, dia bersama dua orang temannya.
Aku menoleh kearah mereka, aku melangkah menuju pintu untuk masuk kedalam gedung.
Cowok itu memegang tanganku, dengan sigap aku membantingnya.
Seminggu tiga kali aku berlatih seni beladiri, taekwondo, judo, kickboxing, wushu dan lainnya.
“Jangan main-main denganku!” kataku sengit.
Salah satu teman dari cowok itu pasti sudah merekamku, hingga video ku tersebar diinternet, itu sebabnya semua murid disekolah menghindariku. Bahkan mereka ada yang menyindirku, “Mengerikan, dia kelihatan cantik, dia rubah betina!”.
Beruntung ada video itu, mereka jadi tidak mengangguku sekarang.
Orang itu datang, dengan senyum liciknya dia berdiri di depan kelas.
“Nama saya Erika Lee” ucapnya sambil menebar senyumnya keseluruh teman sekelasku.
Mata Erika bertemu denganku, dia tidak terkejut sedikitpun. Aku tahu dia pasti sengaja datang kesekolahku.
Erika duduk disebelah Daniel, dia berusaha menggoda Daniel. Itu memang sifatnya, baguslah bila mereka jadian, sekalian saja musuhku menjadi satu.
Aku mencuci tanganku dikamar mandi, Erika masuk kedalam kamar mandi.
“Song June!” panggilnya dengan suara centil.
Aku menghela nafas sambil mengibaskan tanganku, kemudian menatapnya.
“Kau pasti sudah tahu alasanku datang kesekolah ini” katanya sambil tersenyum licik.
Aku tahu kamu ingin menghancurkan hidupku atas kesalahan yang kamu sendiri lakukan.
“Terserah sajalah” aku berjalan melewatinya, tiba-tiba dia sengaja menjatuhkan dirinya keember yang penuh dengan air kotor bekas pel.
“Tolong aku!” teriaknya keras.
Aku mengernyit melihatnya, dia sengaja melakukannya.
Semua murid berkumpul disekitar pintu kamar mandi.
“Aku tidak tahu kenapa tapi dia mendorongku, aduh sakiiit!” Erika menangis.
Air mata buaya miliknya, aku sudah tahu itu.
“Song June, kenapa kamu begitu kejam?. Apa salah anak baru?!” tegur seorang siswi sambil membantu Erika.
Aku tertawa tidak percaya, mereka bisa tertipu. Itu memang keahlian Erika, memutar balikkan fakta.
“Kamu memang cantik, tapi bukan berarti bisa menyakiti orang seenaknya!” sahut salah seorang cowok.
Aku menatap tajam kearahnya, semua murid langsung melangkah mundur.
Aku melihat Daniel diantara mereka, dia juga sama, tertipu dengan siasat Erika.
Aku berjalan menuju kelas, duduk dibangku ku seorang diri. Semua meja di atur menjauhiku.

Malam itu aku menatap bulan dari langit kamarku.
“June… june!” panggil Peter sambil tersenyum, dia mengejarku untuk menujukkan nilainya.
“Aku masuk 50 besar!” teriak Peter senang, aku tertawa melihatnya bahagia.
Ingatan masa lalu akan selalu datang ketika Erika berada didekatku.
Aku membaca pesan yang masuk di grup sekolah, tampak video kejadian dikamar mandi tadi.
Aku memejamkan mata sambil merebahkan diri.
Ibu datang mengetuk pintuku, “June kau didalam?”.
“Ya bu, masuklah” kataku, aku bangkit dari tidurku.
“Besok temani ibu ke acara social, kamu tahukan panti asuhan milik yayasan Seiran. Besok siang sepulang sekolah kamu langsung kesana”.
Aku mengangguk, aku senang sekali mengikuti acara social, bertemu anak-anak kecil dan orang-orang tua yang membutuhkan bantuan, membuatku melupakan semua masalah.

Disekolah situasi semakin memburuk ketika Erika berakting aku mendorongnya hingga jatuh ke bawah tangga.
Guru BP memanggilku, seperti biasa mereka semua percaya dengan acting Erika.
Cewek itu memang pantas mendapatkan piala aktris terbaik.
“Tolong lah June, kamu yang biasanya diam kenapa seperti ini?” kata Guru BP.
Aku memandang kearahnya, “Sekalipun saya mengatakan, bukan saya yang mendorongnya, apa anda akan percaya?” tanyaku.
Guru BP menghela nafas, dia memberiku hukuman untuk membersihkan ruang olahraga.
Aku berjalan menuju ruang olagraga, melewati UKS, melihat Erika yang terlihat baik-baik saja, dia bahkan mengambil beberapa foto dirinya.
“Apa tubuhmu baik-baik saja?” tanyaku.
Erika menoleh kearahku yang berada dipintu UKS.
“Aku sudah terlatih untuk menyalahkanmu” jawabnya sambil tersenyum.
“Jangan terlalu keras berusaha, tubuhmu yang akan sakit” kataku sambil menutup pintu UKS.

Dipanti asuhan aku mengajak anak-anak yatim bernyanyi, aku memainkan piano, lagu twinkle-twinkle little star membuat mereka bernyanyi dan menari.
Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka, beberapa wartawan mengambil fotoku. Aku menutup wajahku karena silau dari blitz foto.
Pengawal pribadiku langsung mengusir wartawan itu, “Nona June… kabarnya anda melakukan bully disekolah apa itu benar?” teriak wartawan.
Beberapa orang langsung menatap kearahku.
“Bully itu apa kak?” Tanya seorang gadis kecil dengan polosnya.
Aku tersenyum, “Bukan apa-apa, kakak berharap kalian jangan membenci satu sama lain, kalian harus saling berbagi dengan begitu kalian pasti akan bahagia”.
Mereka tertawa gembira, “Iya Kak!!!”.
Ibu berjalan mendekatiku, “Apa Erika muncul lagi?” Tanya Ibu.
Aku menoleh kearahnya, “Jangan mulai lagi ibu, aku hanya tersisa satu tahun lagi disekolah itu”.
Ibu selalu menyuruhku untuk pindah sekolah bila aku bertemu dengan Erika, ibu juga pernah ingin melaporkan Erika kekantor polisi, tapi aku mencegahnya. Erika hanya tidak menyadari perasaannya, dia juga hanya membuatku agar tidak memiliki teman.
Aku memainkan piano ketika semua orang sudah pergi, perasaanku ketika Peter pergi meninggalkanku, perasaanku ketika melihatnya harus pergi dari sisiku. Air mataku menetes, tanganku masih lincah bermain hingga semua emosiku terluapkan.
Plok…Plok…Plok!
Daniel bertepuk tangan, aku menghapus air mataku.
“Sedang apa kau disini?” tanyaku kaget.
Daniel berjalan kearahku, “Kamu lupa ibuku juga anggota yayasan, dia menyuruhku menemaninya”.
Aku menelan ludah, “Jadi…, dari tadi kamu disini?” tanyaku lagi.
Daniel mengangguk, dia menekan tust piano, memainkan lagu twinkle-twinkle little star.
“Kamu tertawa ketika memainkan lagu ini” ucapnya, kemudian dian memainkan Cannon in D.
“Kamu menangis ketika memainkan ini”, Daniel menoleh kearahku.
Aku menatapnya, “Apa maumu?” tanyaku tegas.
“Apakah berat?” Daniel balas bertanya.
Aku terdiam menatapnya, aku tidak ingin menjawab.
“Kamu tidak memiliki teman untuk berbagi, hidupmu pasti berat!” ucap Daniel.
Aku berdiri, Daniel memegang tanganku “Mau mencoba berteman denganku?” tawarnya.
Aku menoleh kearahnya, “Tidak” jawabku cepat.
“Aku tidak menembakmu untuk menjadi pacarku, aku rasa kamu harus memiliki teman yang kuat, yang bisa meminjamkan bahunya untukmu ketika kamu bersedih” kata Daniel.
Aku membuka mulutku langsung menutupnya, “Tidak, terimakasih. Aku tidak membutuhkan bantuan dari siapapun”.
Aku melepaskan tangannya dan pergi dari ruang music panti.

Keesokan harinya pelajaran olahraga, kami berlatih memukul bola voli.
Tidak ada yang mau berlatih denganku, Daniel berdiri dihadapanku sambil melempar bola voli kearahku.
Aku menangkap bola itu.
Daniel tersenyum, “Kamu tidak ingin nilaimu jelekkan?”.
Aku mendekap bola voli itu, semua murid kelasku melihat kearah kami.
“Daniel kamu sedang apa?” Tanya Erika.
Daniel menoleh kearahnya, “Kenapa?, aku juga tidak punya kelompok. Jadi aku berlatih dengannya” jawab Daniel santai.
“Tapi kamu bisa terluka” tegur beberapa murid.
“Dia seorang cewek, mana bisa melukaiku” Daniel tertawa, sambil mengisyaratkan melempar bola voli padaku.
“Kalau kamu ingin nilai mu jelek tidak jadi masalah, tapi aku tidak!” Daniel memegang pinggangnya.
Aku menghela nafas, kemudian melempar pelan bola itu kearahnya, tapi Daniel memukul dengan keras. Aku segera membalasnya, memukul bola lebih keras. Kami terlihat seperti orang berantem ketimbang berlatih memukul.
Semua murid melihat ngeri kearah kami berdua, mereka bergerak menjauh takut terkena bola yang kami lemparkan.
“Kenapa lemah June?, sudah lelah?” tantang Daniel sambil melakukan smash.
Aku memukul bola itu dengan keras, hingga aku melupakan suasana disekitarku. Aku tertawa kecil saat melihat Daniel terjatuh saat tidak bisa mengambil bola yang aku pukul.
“Lihat dia tertawa, kejam. Daniel jatuh seperti itu dan dia menertawakannya” gumam murid-murid.
Aku terdiam, tiba-tiba Daniel melempar bola hingga terkena kepalaku.
Aku langsung terduduk, sambil memegang kepalaku “Aw!”.
Daniel berlari kearahku, “Kamu ga papa?” Tanya Daniel sambil menepuk lembut kepalaku.
“Sakit!” keluhku sambil meringis, Daniel membuka tanganku dia melihat kearah dahiku yang lebam.
“Ahahahaha… dahimu bengkak!” Daniel tertawa, yang diikuti oleh murid-murid lainnya.
Aku terdiam, mereka tertawa senang jika aku sakit begini.
“Aku menertawakanmu, karena wajahmu yang lucu June. Tapi aku tidak tahu kenapa mereka tertawa senang seperti itu, apa karena kamu terluka atau karena wajahmu yang lucu” ucap Daniel.
Seluruh murid langsung terdiam, Erika menatap sinis kearahku.
“Ayo ke UKS!” Daniel mengangkat tubuhku hingga aku berdiri, kemudian mengajakku ke UKS.

“Terimakasih” kataku sambil memegang sekantong es yang diberikan Daniel.
Daniel tersenyum, dia duduk didepanku. “Ini gunanya teman”.
Aku terdiam menatapnya, “Kamu bukan temanku” kataku dingin.
“Kita teman sekelas, suka atau tidak kita sudah menjadi teman” ucapnya santai, dia merebahkan diri di tempat tidur.
“Ahhh… nikmatnya!” ucapnya sambil merenggangkan tubuh.
“Kenapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya?” Tanya Daniel.
Aku menoleh kearahnya, apa yang dia maksud?.
“Erika, dia berbohongkan?” Daniel tersenyum.
Dari mana dia tahu?.
“Aku ada disini saat kamu bertanya keadaannya, tidak mungkin orang yang melakukan bully bertanya seperti itu pada korbannya”.
Aku menoleh keluar jendela, terlihat Erika dan teman-teman sekelasku masih sibuk berlatih memukul bola voli.
“Aku kasihan padanya” kataku.
Daniel memandangku, dia ingin mendengarkan aku bercerita.
“Aku dulu aku memiliki sahabat, Peter namanya. Dia tetanggaku, dia juga teman dekatku. Kami tumbuh bersama, bermain, tertawa, menangis kami selalu bersama” aku mengenang memoriku.
Peter yang saat itu berada diperingkat paling bawah satu sekolah dipukul habis-habusan oleh ayahnya, aku menatap kasihan padanya. “Ayo belajar bersama!” ajakku.
Saat itu kami belajar bersama, peringkatnya perlahan naik dari 200 terbawah dia naik menjadi peringkat 50. Itu tidak membuat ayahnya puas, kami belajar dengan giat bersama hingga akhirnya di SMP kelas satu dia bisa menyaingiku, Peter berada diperingkat teratas.
Saat itu Peter tertawa gembira, aku juga senang untuknya, tapi tidak dengan Erika yang merosot berada diperingkat tiga.
Erika berusaha memecah pertemananku dengan Peter, dia mengatakan kebohongan kalau aku tidak senang dengan peringkat yang diraihnya.
“Itu bohong!” bantahku ketika Peter menyudutkanku dihadapan teman-teman sekelas.
Entah bagaimana caranya buku pelajaran Peter terkena saus tomat, sehingga menyerupai seperti darah, saat itu seluruh sekolah membenciku seperti sekarang. Hingga saat dimana aku di bully dan dikucilkan.
Erika dan Peter tertawa gembira melihatku yang setiap harinya penuh dengan telur dan tepung.
“Apa kau senang Peter?, baguslah kalau kamu tertawa. Aku tidak akan perah melakukan ini padamu, jika situasi kita berbalik” kataku, aku berjalan pulang.
Erika yang gemas denganku mendorongku hingga jatuh kebawah tangga, saat itu kakiku patah.
Sebulan aku tidak sekolah, aku juga mengerjakan ujian dari rumah mendapatkan guru privat dari sekolah, prestasiku tetap tidak turun.
Hingga saat aku masuk sekolah, kertas hasil ujian akhir di papan pengumuman sobek pada nomor satu. Aku tahu aku berada diperingkat teratas lagi, saat itu Peter menatap marah padaku.
“Peringkatmu turun tapi kamu malah marah padaku, kenapa?” tanyaku.
Erika mengatakan bahwa salahku bila Peter dipukul lagi oleh ayahnya, karena kalah denganku.
“Kamu bilang aku yang bersalah?, kenapa kamu sibuk melakukan hal bodoh ini padaku?, bukankah sebaiknya kamu belajar!” kataku tegas.
Peter menampar wajahku, air mataku berlinang.
“Cukup!” aku melotot menatapnya, “Apa kamu lupa dengan apa yang kamu ucapkan?, begini caramu membalas kebaikan seseorang, apa kamu senang bila aku keluar dari sekolah ini?, dimanapun aku berada nilaiku tetap tidak akan berubah?!” teriakku padanya.
“Aku kecewa padamu yang lebih mementingkan prestasi daripada pertemanan”, aku pergi meninggalkan mereka semua dan sekolah lamaku.
Aku masuk kedalam SMP Serin Academy.
Salju turun dengan lebatnya, aku memandang keluar jendela. Ambulance datang kerumah Peter, aku melihat Peter dibawa dengan tandu dan kedua orang tuanya berlari dibelakangnya.
Erika menatapku dari bawah, disebelah ambulance. Aku hanya menatap kosong kearah Peter yang tergeletak lemas.
Orangtuaku bercerita kalau Peter mengalami depresi dan kompilasi penyakit lambung, itu karena dia terus belajar dan kurang beristirahat.
“June, ibu tidak menuntutmu untuk selalu menjadi nomor satu. Kamu masih muda, jangan menjadi seperti dia” Ibu memelukku.
Aku mengunjungi Peter dirumah sakit, dia tidak ingin menatapku.
“Apa kamu mau mati hanya karena prestasi?” tanyaku.
Peter terdiam.
“Kamu yang pintar mana mengerti perasaanku, ayahku begitu membanggakanku ketika aku meraih peringkat satu, dia bahkan mengajakku ke pesta tempat teman-temannya bekerja” ucap Peter.
Aku memejamkan mata, “Aku mengajarimu bukan untuk menjadi seperti ini” air mataku menetes.
“Maaf kan aku June” ucap Peter.
Aku terisak, aku tidak bisa mengucapkan apapun, hatiku menjadi pilu.
“Harusnya aku tidak mendengarkan Erika, dia rubah yang sebenarnya” gumam Peter.
“Sudahlah, aku hanya ingin kamu cepat sembuh dan bersekolah kembali. Jangan memaksakan dirimu” kataku sambil terisak.
Ibu Peter masuk kedalam kemudian memelukku, kami keluar dari kamar Peter.
“Dia butuh istirahat” ucap Ibu Peter, aku mengangguk setuju.
Pandanganku bertemu dengan Ayah Peter, pria itu seperti depresi menyalahkan dirinya sendiri.
“Ini sudah berlalu, jangan memaksa dia terlalu keras Oom” ucapku.
Ayah Peter menangis.
Seminggu setelah itu keluarga Peter pergi keluar negeri, dan Erika yang licik itu membuat cerita seolah aku yang menyuruh Peter untuk bunuh diri.
“Dan sekarang dia ada disini, aku tidak peduli kamu percaya atau tidak dengan ceritaku” Aku memejamkan mataku, dingin dari es sedikit meredakan nyeri didahiku.
Aku tidak tahu apa itu arti teman?, tapi sejauh ini aku masih merasa nyaman dengan Daniel.
Tiga siswi menarikku kegudang sekolah.
“Song June, sampai kapan kamu membuat sensasi?!” teriak kakak tingkatku, yang aku tahu dia pernah menembak Daniel tapi ditolak.
“Aku tidak pernah membuatnya” bantahku.
Cewek itu menarik rambutku, aku menatapnya tajam.
“Lepas atau kamu akan mati disini!” ancamku.
Cewek itu meringis, dia terlihat takut tapi berusaha menutupinya.
“Jangan kalian pikir dengan jumlah segini aku akan kalah!” ancamku.
Seorang cewek memegang tanganku, dengan perlahan aku membantingnya, tidak sekeras membantingnya tapi cukup membuatnya nyeri.
Mereka berusaha menarik rambutku aku mendorong dan menendang pelan tubuh mereka.
Sudut mataku melihat Erika berlari sambil membawa ponsel.
“Apa Erika yang menyuruh kalian?” tanyaku pada mereka.
Cewek itu mengangguk, “Dia akan member kami uang bila bisa menyakitimu” jawabnya.
Aku melemparkan uang yang cukup untuk mereka berfoya-foya selama seminggu.
“Kalau kalian bisa mencegah dia menyebarkan videoku akan kuberi lebih dari ini” kataku sambil pergi meninggalkan mereka.
Tiba-tiba saja pot bunga dari atas tangga jatuh dan nyaris menimpaku.
Apa dia berniat membunuhku?, aku menoleh kearah atas.
Erika berlari bersembunyi.

“Ibu” panggilku ketika makan malam.
“Ya” jawabnya sambil mengiris steak untuk ayah.
“Apa ibu tahu bagaimana keadaan Peter sekarang?” tanyaku.
Ayah dan Ibu langsung menghentikan aktifitasnya.
“Kenapa dia pergi tanpa menjelaskan semuanya?, apa dia seorang pengecut!” kataku sambil menangis.
Ibu langsung memeluk tubuhku, “Tenanglah, ibu tahu kamu kuat!”.
Ayah menatap kami berdua, “Ada apa ini?, apa anak itu menganggunya lagi?” Tanya Ayah.
Ibu menggeleng kearah ayah, menempelkan telunjuk dibibirnya, mengisyaratkan untuk tetap diam.
“Maafkan aku, aku terkadang cukup lelah. Tapi biar dia sendiri yang merasakan balasan atas apa yang dia perbuat, aku tidak ingin mengotori tanganku” kataku.
Ayah tersenyum, begitu pula ibu.
“Tidak sia-sia mendidikmu menjadi putrid seorang bangsawan bila kamu setegar ini”.

Pandangan mataku tertuju padanya, aku tidak berkedip.
Dia tersenyum padaku didepan kelas, “Halo June!” sapa Peter hangat.
“Kamu kenal Song June?” Tanya wali kelas.
“Dia sahabat terbaikku” jawab Peter.
Erika membanting tempat pensilnya, “Apa kamu gila?, dia yang membuatmu seperti itu!” teriak Erika.
Peter menatap Erika dengan pandangan tidak suka, “Kau siapa? Apa aku mengenalmu?” kata Peter.
Erika terkejut, dia langsung terduduk mendengar kata Peter.
Disudut sekolah aku, Daniel dan juga Peter duduk bersama.
“Jadi dia Peter?” Tanya Daniel.
Aku mengangguk, Peter menatap tidak suka kearah Daniel.
“Kenapa menatapku begitu?” Tanya Daniel terus terang.
Peter kembali menatapku.
“Kenapa kamu kembali?” tanyaku.
Peter tertunduk, “Aku ingin menjelaskan semua, aku sudah mengunjungi teman sekelas sewaktu kita SMP dan mengatakan kepada mereka yang sebenarnya”.
“Apa itu sduah terlambat?” Tanya Peter.
Aku tersenyum, “Belum… aku hanya lega melihatmu sehat begini”.
Peter tertawa, “Dan selalu kamu menjadi yang nomor satu dimanapun kamu berada”.
Erika berjalan melewati kami.
“Hei nona rubah, apa kamu masih rubah yang sama?” teriak Peter.
Erika menatap sinis kearah Peter.
“Kau membuat semua seperti salah June, Waaah… aku juga tertipu olehmu!” Peter berjalan mendekati Erika.
“Kalau saja aku jadi mati waktu itu, orang pertama yang aku datangi adalah kau!” ancam Peter.
Aku memukul lengannya, “Sudah jangan begitu!” omelku.
Erika pergi meninggalkan kami.
Aku duduk sambil tersenyum memandang, wajah Peter.
Daniel tertawa, “Belum pernah aku melihat June serileks ini”.
“Maaf June, hidupmu jadi berat karena aku” Peter tertunduk menyesal.
“Sudahlah, walau bagaimanapun kita tetap teman” kataku.

Guru kesenian menatap kami bertiga, “Kalian satu kelompok?” Tanya nya heran melihatku berada didalam satu kelompok yang sama dengan Daniel.
Daniel tersenyum, “Demi nilai kami satu kelompok”.
Aku mengangguk, sedangkan Peter terlihat cuek-cuek saja, dia sudah tidak terlalu peduli dengan peringkat.
Music berdentum, ini suara music tradisional berpadu dengan hip hop. Kami menari, aku yang membuat koreonya, seluruh murid dikelas bedecak kagum begitu juga guru kesenian.
Daniel mengangkat tubuhku, sementara Peter menjaga keseimbanganku dari belakang. Aku melakukan high jump sambil berputar lalu mendarat dengan sempurna sementa kedua cowok itu melakukan aksi BBoy.
Semua murid mengambil video tarian kami.
“Well, tidak ada cacat sama sekali. Jadi nilai individu kalian 100 dan nilai kelompok kalian sempurna” guru tersenyum yang kemudian meninggalkan ruang olahraga.
Aku tertawa senang sambil memeluk Daniel, tawaku berhenti begitu sadar apa yang aku lakukan.
“Peter!” panggilku canggung.
“Hm…” sahutnya sambil tersenyum, dia tahu kalau aku malu.
“Kamu pasti lapar!” goda Peter, kami pun berlari menuju kantin.
Aku, Daniel dan Peter bercanda di kantin kami mengobrol apa saja. Peter menceritakan sekolahnya diluar negeri, dia menjadi peringkat nomor satu disana.
“Lihat-lihat mereka, seperti lukisan hidup. Bagaimana bisa mereka terlihat mnakjubkan seperti itu?!” puji beberapa siswi, mereka juga mengambil foto kami bertiga.
Erika mengambil ponsel salah satu siswi kemudian membantingnya, “Kenapa dia?” Tanya siswi itu sambil menatap ponselnya yang hancur lebur.
“Selama diinggris, aku merasa bersalah padamu June” kata Peter.
“Kenapa kamu tidak menelponku?” tanyaku, sambil memakan kentang goring yang dibelikan Daniel.
Peter tersenyum, “Aku malu, aku malu padamu. Tapi kemarin ayahmu menelponku, dia bilang kamu merindukanku!”.
Aku terdiam, Ayah… dia selalu saja bisa membuat kejutan.
“Aku tidak merindukanmu, aku mengutukmu!” kataku ketus.
Peter dan Daniel tertawa melihat ekspresiku.
Tiba-tiba ponsel Peter berdering, “Yes, Sarah. I miss you too”.
Aku memutar bola mataku, pasti itu pacar baru Peter, aku menoleh kearah Daniel.
“Apa?!” Tanya nya ketus.
Aku mencibir sambil meminum jus jeruk.
“Pacarmu?” Tanya Daniel.
Peter mengangguk sambil tersenyum, “Aku bertemu dengannya saat transfer, kami sama-sama cocok”.
Daniel menghela nafas lega, “Baguslah”.
Aku dan Peter menoleh kearah Daniel.
“Aku rasa aku menyukai June” ucap Daniel yang membuatku dan Peter terkejut.
Peter tertawa terbahak-bahak, “Waaah, aku saja tidak berani bertemu ayahnya… bagaimana kamu bisa berpacaran dengannya?”.
Aku mengangguk-angguk, “Lagi pula kata pacar tidak ada dalam kamusku”.
Daniel tersenyum, “Dulu tidak ada kata teman dalam kamusmu, tapi lihat sekarang kamu memiliki dua teman”.
Aku terdiam, bertukar pandang dengan Peter.
“Tidak susah merubah kamus hidupmu June” goda Daniel.

Aku berdiri di malam pesta amal, ini bukan acara social seperi yang aku kira. Disini semua orang terlihat memmaerkan seluruh kekayaan mereka, tidak heran ibu menyuruhku memakai serba berlian yang begitu mahal ini, mulai dari sepatu, baju, anting, kalung, cincin, jam tangan, gelang, bahkan tiara.
Aku memandang wajahku dicermin yang terlihat seperti boneka bersinar daripada putri raja.
Aku bersembunyi ketika melihat Daniel dan Peter yang datang bersamaan, aku tidak ingin mereka melihatku dengan dandanan aneh begini.
Tidak sengaja aku menabrak Erika, dia melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Yah tentu saja penampilannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang aku pakai.
“Kau terlihat mencolok” sindirnya.
“Yah, untuk menujukkan status” balasku sambil berjalan menjauhinya.
“June!” tegur Daniel dari belakangku.
Aish, Mati aku… mereka pasti akan tertawa.
Aku berbalik, “Hai!” sapaku pelan.
Mereka terdiam, Peter bahkan tidak berkedip.
“Ibuku yang membawaku kesalon dan begitu keluar, aku berubah menjadi badut seperti ini” ucapku.
Daniel tersenyum, “Cantik… kamu cantik sekali” pujinya.
Peter mengangguk, “Seperti Lady Diana”.
Aku tersenyum, “Benarkah?”tanyaku lagi, dua cowok itu tersenyum sambil mengangguk.
“Lukisan dari mana ini, kalian bertiga begitu menyilaukan” puji seorang pria yang bergaya kewanitaan.
“Alfert…” sapa Daniel akrab, aku bertukar pandang dengan Peter.
Siapa Alfert ini?.
“Dia desainer, karyanya sudah terkenal hingga ke Milan” Daniel memperkenalkan siapa itu Alfert.
Aku ragu dia bisa membaca pikiranku.
“Oh… Hallo” sapa ku, aku menyikut Peter yang ikut memberikan salam.
“Alfert…!” panggil Erika, dia menghampiri kami.
“Oh, Erika kamu datang juga” kata Alfert.
“Tentu saja, aku senang kamu ingin aku menjadi modelmu” ucap Erika berusaha pamer didepanku.
“Em… tentang itu aku minta maaf, tapi aku rasa tema kali ini tidak cocok dengan karaktermu” ucap Alfert yang kemudian menoleh kearahku.
“Nona…?” Alfert bertanya padaku.
“Song June” jawab Daniel.
“Ah…. Putri  tunggal keluarga Song, aku rasa kamu cocok menjadi modelku kali ini”.
Aku menaikkan alisku, terkejut dengan apa yang pria itu katakan.
“Alfert!!!” Bentak Erika mengagetkan.
“Wajahmu bergaya Victorian, tapi ada unsur tradisional sangat cantik”.
Aku bersembunyi dibelakang Daniel, aku tidak ingin menjadi model atau apapun itu.
“Maaf Alfert, tapi aku rasa dia tidak bisa” kata Daniel.
Alfert tersenyum, “Aku juga menginginkan kalian berdua juga menjadi modelku”, dia berkata pada Daniel dan Peter.
“Kalian bertiga, suatu kombinasi yang sempurna” ucapnya.
Ibu berjalan kearahku, “June menjadi model, terdengar menarik”.
“Ibuuu” rengekku manja.
Ibu menggeleng, “Yang ibu tahu kamu hanya belajar, belajar dan belajar. Kamu juga Peter! Okay Alfert, mereka berdua akan menjadi modelmu”.
Aku memejamkan mata, mimpi apa aku semalam?!.
“Okay aku juga!” ucap Daniel penuh semangat, aku dan Peter bertukar pandang terkejut dengan keputusan Daniel.

Seminggu kemudian disinilah kami berada, sesi pemotretan untuk majalah High Class yang membahas tentang mode para anak celebrity ataupun orang kaya.
“June, kamu duduk dipangkuan Daniel, dan Peter pegang pundak June” arah fotografer.
“Aish… maaf” ucapku pada Daniel, kemudian aku duduk dipangkuannya, tangan Daniel melingkar dipinggangku sedangkan Peter memegang bahuku.
“Good, kalian bagus sekali” puji potografer.
Seusai pemotretan aku berganti seragam sekolah, begitu juga dengan dua cowok itu.
Aku melihat hasil dari foto-foto kami, aku tidak percaya itu aku.
“Majalah edisi bulan depan, pasti akan laku keras karena kalian akan menjadi covernya” puji Alfert.
Erika datang untuk sesi foto berikutnya, dia terlihat acuh.
“Pulang?” tawar Daniel.
Aku mengangguk, “Aku capek sekali” aku menguap kecil.
“Aku masih harus kesuatu tempat, ayah menyuruhku menyelesaikan beberapa pekerjaan. Kalian pulang duluan” kata Peter.
Kami berpisah diparkiran, Peter mengendarai mobilnya sendiri.
“Masuklah aku antar pulang” ajak Daniel.
Aku berdiri merapatkan mantelku, “Aku akan menunggu supirku” tolakku halus.
Daniel membuka pintu mobilnya, kemudian menarikku masuk kedalam mobil.
“Aku tidak biasa ditolak” ucapnya sambil menutup pintu mobil.
Selama diperjalanan kami berdua diam, aku memainkan jari-jariku.
“Peter sudah kembali, bukan kah sedikit melegakan” kata Daniel.
Aku mengangguk, “Dia masih hidup, dia tertawa dan dia bahagia. Aku bersyukur”.
“Lalu apa yang kau lakukan dengan Erika?” Tanya Daniel.
Aku menggeleng, “Aku tidak ingin sama seperti dirinya, biar dia yang merasakannya sendiri” jawabku.
Daniel tersenyum,”Dulu aku pikir kamu adalah gadis yang sombong, dengan nilai mu yang begitu tinggi langsung mengalahkanku”.
Aku menunduk, “Apa kamu ingin peringkat satu?, aku bisa memberikannya” kataku.
Daniel tertawa, “Aku merasa nyaman pada nomor dua, setidaknya aku bisa menjagamu dari si ketiga, keempat atau yang lainnya”.
Aku menoleh kepadanya, “Kamu benar menyukai ku?” tanyaku.
Daniel mengangguk, “Ya” jawabnya singkat.
Aku tertawa, “Aku tidak pernah berfikir untuk memiliki pacar, mungkin aku cukup enjoy dengan apa yang aku lakukan”.
Daniel tertawa kecil, “Kau suka tantangan?” Tanya Daniel.
“Hm… sedikit” jawabku.
Daniel menepikan mobilnya, dia menatapku “Aku punya tantangan, bila semester ini aku meraih peringkat pertama kamu harus menerimaku”.
“Haah!” aku menutup mulutku.
“Bukankah ini menyenangkan?, selama ini kita mengejar peringkat tanpa alasan. Aku butuh motivasi yang kuat untuk meraih peringkat satu” lanjut Daniel.
Aku mengedip-kedipkan mataku, berfikir.“Tidak!” jawabku.
“Kamu tidak bisa menolak” ucap Daniel, dia tersenyum.

Musim berlalu sebentar lagi ujian tengah smester, kami belajar begitu giat. Aku sudah tidak begitu peduli dengan terror yang terus dilancarkan Erika.
Aku berjalan menuju kelas sambil menghapal teks book, suara barang pecah terdengar jelas ditelingaku.
“Kau bilang akan membayar kami!!!” teriak seorang cewek sambil memegang pecahan botol.
Dia ingin melukai wajah Erika.
“Apa yang kalian lakukan?” tanyaku pada cewek itu.
Erika menatap nanar kearahku.
“Pergilah Song June, kami ingin memberi pelajaran pada orang yang selalu mencelakaimu” ucap cewek itu lagi.
Aku mengeluarkan ponsel, memfoto kejadian ini.
“Song June, sedang apa kamu?” Tanya Cewek itu kaget dengan kilatan lampu blitz.
“Ini akan jadi cerita yang menarik dikantor BP bila kalian tidak menghentikannya” kataku santai.
Cewek itu mengumpat, kemudian membuang botol kaca dan berlalu meninggalkan aku dan Erika.
“Kamu seorang model, setidaknya jaga tubuhmu” kataku, aku meninggalkannya.
Aku mendengar Erika menangis dan menjerit.
Aku masuk kedalam kelas, tiba-tiba saja aku merasa pusing. Aku terduduk didepan pintu.
“June!” Peter menghampiriku.
Daniel masuk kedalam kelas dia langsung menghampiriku.
Aku masih berusaha untuk kembali kesadaranku, megedip-kedipkan mataku.
Daniel mengangkatku, dia membawaku ke UKS.
Perawat memeriksa keadaanku, “Aku tidak tahu pasti, bawa dia kerumah sakit”.
Mereka membawaku menaiki ambulance.
Dokter memeriksaku, “Hubungi orang tuanya, kita akan melakukan CT scan”.
Aku kehilangan kesadaranku.

Langit-langit rumah sakit berwarna biru muda, selang infuse terpasang ditangan kiriku, aku merasakan sakit tiap cairan infuse memasuki nadiku.
“Dia terkena anemia akut, mungkin dia terlalu banyak belajar” ucap dokter kepada Ibu.
“Dan lagi, dia mengidap tumor diotaknya”.
“Tu…tumor?!” Ibu langsung terduduk lemas.
 “Apa ada cara menyembuhkannya?” Tanya Ibu menatap dokter.
Dokter mengangguk, “Tentu, tumornya berada dibagian tidak berbahaya. Kami bisa mengangkatnya”.
“Benarkah?” Tanya Ibu.
Dokter mengangguk, “Akan saya jadwalkan waktu operasinya”.
Aku menghembuskan nafas, sebentar lagi Ujian tengah smester tapi aku harus berdiam diri dirumah sakit.
Aku merebahkan tubuhku.
Daniel dan Peter datang mengunjungiku.
“Bagaimana bisa tumor itu bersarang diotak pintarmu?!” Peter mengeluh.
Aku tersenyum, aku sendiri tidak tahu.
Daniel berbicara dengan dokter, “Sore ini kamu akan melakukan operasi”.
Aku memegang rambut panjangku, “Pasti lucu tidak memiliki rambut disebagian kepalaku”.
“Aishhh jangan sedih begitu, wajahmu tetap cantik kok” puji Peter.
Suster memeriksa keadaanku, Ibu memastikan aku tidak gugup, malah yang aku rasa dialah yang gugup.
Saat semua orang berada diluar Daniel masuk kedalam, dia mengecup pipiku.
“Ingat, kamu akan menjadi pacarku bila aku peringkat satu, jadi cepatlah sembuh” bisiknya.
Ayah masuk kedalam terkejut melihat Daniel dan aku.
“Siapa kau?” Tanya Ayah.
Daniel tersenyum, “Daniel Kim” jawabnya.
Suster masuk kedalam ruangan, “Tolong keluar kami harus melakukan persiapan”.

Bau mawar menggelitik hidungku, aku melihat Daniel tertidur disebelahku.
Aku mengelus rambutnya yang lembut, dia bangun menatapku.
“Oh.. Hai June” sapanya sambil menguap kecil.
Aku tersenyum.
“Sebentar aku panggil dokter” Daniel keluar dari kamar.
Beruntung dia keluar, aku langsung buang angin begitu dia keluar.
Tdak lama ayah ibu dan dokter masuk kedalam kamar.
Aku tersenyum, Daniel masuk dibelakang mereka.
“Lihat dia tidak seperti orang sakit” gumam Ayah.
“Ayaaah… aku kehilangan sebagian rambutku” ucapku sedih.
“Walau begitu pacarmu masih setia padamu” Ayah menoleh kearah Daniel.
“Pa…Pacar!!!” teriakku.
Begitu ibu, ayah dan dokter keluar aku melempar bantal kearah Daniel.
“Apa yang kamu katakan pada ayah?” tanyaku.
Daniel tersenyum, “Hanya meminta restu padanya”. Daniel menaruh bantal dipangkuanku.
“Cepat sembuh June” ucapnya.
Aku merengut menatapnya.

Disekolah Peter menyambutku, tapi aku tidak melihat Erika.
“Dimana dia?” tanyaku pada Peter.
Peter terdiam, dia menatapku penuh arti.
“Jangan bilang…” aku menutup mulutku, kemudian berlari menuju keluar sekolah.
Daniel menangkap lenganku, “Dia masih hidup, sama seperti Peter”.
Aku terduduk lemas, “Syukurlah…syukurlah”.
Ujian berlangsung normal, Peter menepuk pundakku “June ada yang ingin aku katakan”.
“Hm…” aku menatap diriku dikaca, membenarkan rambut wig yang sedikit kusut.
“Aku akan kembali ke inggris” kata Peter.
Aku menoleh kearahnya, “Kapan?” tanyaku.
“Nanti Sore” jawabnya.
Aku meletakkan kepalaku diatas meja, “Haaah…” aku menghela nafas panjang.
“Apa sakit?” Tanya Peter.
Aku mengangkat kepalaku, “Ya sakit… sakit sekali, tapi disini” aku meujukkan dadaku.
“Teman pergi baru memberitahuku sekarang” keluhku.
Peter tertawa, dia melihat kearah Daniel yang berjalan kearah kami berdua.”Aku akan menyerahkanmu padanya”.
“Ya… kamu pikir aku barang?” teriakku pada Peter.
Daniel duduk disebelahku, dia menatapku.
“Apa?” bentakku.
“Senang melihatmu disini” jawabnya lembut.
Bulu kudukku jadi berdiri, “Tidak usah merayu” bentakku.

Diperpustakaan aku membaca sastra china, Daniel duduk disampingku dia tidak membaca atau belajar, dia hanya menatap wajahku.
“Apa?” bisikku.
Tiba-tiba Daniel berdiri, “Aku menyukaimu Song June!!!” Teriaknya, otomatis semua murid diperpustakaan langsung menoleh kearah kami.
“Kamu gila!” aku berjalan keluar dari perpustakaan.
Daniel menggandeng tanganku, seluruh murid memperhatikan kami.
Pengumuan ujian pun ditempelkan, benar benar tidak masuk akal.
Aku dan Daniel sama-sama diperingkat pertama.
Aku bertukar pandang dengannya, “Pa..ca…r..ku” ucapnya pelan sambil mengeja.
Aku memejamkan mata, cowok ini mengerikan bila memiliki keinginan.
Daniel merangkul bahuku kemudian mengajakku pergi ke kelas.
Dikelas dia terus saja memandangku.
“Kenapa?” tanyaku ketus.
Daniel tersenyum, “Apa yang kita lakukan dihari pertama pacaran?” Tanya Daniel.
Aku memutar mataku, mataku tertuju pada sosok Erika yang memasuki gerbang sekolah bersama Ibunya.

Di ruang BP, Ibu Erika menamparku “Kau kau kau lagi… gara-gara kamu anakku hampir mati!” teriak Ibu Erika.
Aku menatap tajam mata wanita itu.
“Lihat dia melotot padaku!, begini sikap murid unggulan disekolah ini?!” teriaknya.
Pintu terbuka, Ibu masuk dengan tenangnya.
“Nyonya Song, apa yang membawa anda kemari?” Tanya guru BP gugup.
Ibu menampar wajah Erika, “Hentikan acting busukmu, dan kau nyonya Lee, apa kamu tahu apa yang dia lakukan pada anakku dan semua anak lainnya?” kata ibu tegas.
“Ibu” tegurku.
“Berhenti membelanya, kalau kamu terus membela dia seperti ini maka sifatnya akan menjadi semakin buruk!” ancam Ibu.
“Anakku ingin bunuh diri gara-gara putrimu, tapi kamu malah menyalahkan putriku?!” Nyonya Lee berteriak.
“Baguslah kalau dia mati, anakku tidak akan sengsara lagi. Kau tahu kenapa dia pindah ke sekolah ini?” sahut Ibu.
Guru BP dan kepala sekolah berusaha menenangkan mereka berdua.
“Erika” tegurku.
Erika menatapku, dia terlihat begitu membenciku “Kau tidak suka padaku, tidak suka melihatku, lalu kenapa kamu datang kemari?, kamu hanya melampiaskan rasa amarahmu padaku” kataku.
“Sudahlah June… ibu akan menyekolahkanmu diinggris” ucap Ibu tegas sambil menarik tanganku keluar dari ruang BP.
Ibu menyuruh ayah menghentikan semua sokongan dana untuk yayasan, dia juga keluar dari anggota yayasan Seiran Academy.
Aku dikurung didalam kamar, tidak ada ponsel ataupun internet.
Surat transfer sudah dikirim ke sekolah academy di inggris.
Aku lelah, Erika dan semuanya, apa salah aku menjadi pintar?, apa salah aku menjadi anak dari orang kaya?.
Aku menatap langit malam dari jendela kamar.
Seseorang mengetuk kamarku, Daniel masuk kedalam.
“Daniel…” ucapku tidak percaya.
Daniel tersenyum, aku duduk diatas tempat tidurku, dia duduk dikursi rias menghadap kearahku.
“Sekolah benar-benar kacau, komite bubar setelah Ibu mu mengunduran diri. Yayasan juga menjadi panic karena orang tuamu menarik sokongan dana” Daniel menghembuskan nafasnya.
“Mereka tidak tega melihatku terluka” kataku.
Daniel mengangguk, “Begitupun aku” ucapnya.
“Minggu depan aku akan transfer ke inggris” kataku.
“Aku tahu, ini berita besar disekolah. Aku sedikit meyalahkan pihak sekolah yang tidak peka” ucap Daniel.
“Tapi ada cara agar ini bisa berakhir” ucap Daniel dengan nada misterius.
“Bagaimana?” tanyaku penasaran.
Daniel tersenyum, “Hmmm… rahasia, tapi yang pasti aku ga ingin kamu jauh dariku!”.
Daniel mengecup keningku kemudian keluar dari kamarku, sementara diotakku tersimpan beribu tanda Tanya.

Musim dingin telah berlalu, musim semi datang member warna baru.
Hampir semua stasiun TV menyiarkan berita praktek korupsi yang dijalankan oleh Lee Sang, ayah dari Erika. Mereka juga menyiarkan berita tentang kehidupan keluarga Lee yang suka menghambur-hamburkan uang padahal Tuan Lee hanya seorang diplomat.
“Kami mendengar kabar bahwa anak dari Lee Sang, Erika Lee. Dia sering melakukan tindak kejahatan” kata reporter.
Tampak May, teman sekelasku sewaktu SMP. “Erika, sewaktu SMP dulu dia pernah menyuruh kami untuk melukai salah seorang teman kami”.
Billy, teman sekelasku dulu juga memberikan pernyataan, “Wah… dia rubah betina, dia yang membuat Peter hampir bunuh diri”.
Semua kejelekan Erika tersiar ditelevisi, ada apa ini?.
Ibu masuk kedalam kamarku, “Kamu sudah nonton berita?” Tanya Ibu.
Aku mengangguk.
“Kepala yayasan meminta maaf atas masalah yang menimpamu” kata ibu.
“Keluarga itu benar-benar bermasalah, ibu rasa kamu tidak akan ibu transfer. Bukan kah hanya tinggal setahun saja kamu bersekolah?” kata Ibu.
“Sebenarnya Ibu hanya tidak kuat melihatmu hanya diam saja, tapi ibu pikir kamu hanya tidak ingin mengotori tanganmu” Ibu tersenyum kepadaku.
“Benar, bangsawan seperti kita tidak pantas mengotori tangan untuk orang bawah seperti mereka”.
Aku berlari memeluk ibu.

Disekolah aku berjalan menuju kelasku, semua murid tersenyum melihatku.
“Lihat dia, masih berani masuk sekolah!” ucap seorang siswi menyindir Erika.
Aku tidak peduli dengannya, tidak akan peduli.
Daniel berjalan didepanku, seperti biasa banyak siswi yang mengambil fotonya.
Tiba-tiba seorang siswi menghampirinya.
“Dainel Kim, aku suka padamu!” siswi itu memberikan sebuah kotak kecil berisi kunci.
Woah, sekarang bukan kue lagi.
Daniel menengok kearahku, dia tersenyum. “Maaf tapi aku sudah memiliki pacar!” ucapnya manis.
Seluruh koridor langsung histeris, para siswi ada yang menangis. Pada siswa tertawa bahagia.
Mungkin ini kesempatan bagi mereka, bayangkan hampir satu sekolah ini semua cewek meyukai Daniel dan hanya memandang Daniel tanpa memperdulikan cowok yang lain.
“Kenapa berdiri disana?” Tanya Daniel padaku.
Semua menjadi hening, aku melangkah menuju kearah Daniel.
“Hari ini kita berkencan kemana?” Daniel merangkulku.
Terdengar suara histeris baik siswi ataupun siswa Seiran Academy.
-End-






Tidak ada komentar:

Posting Komentar